LAPORAN
PENDAHULUAN DISPEPSIA
A.
Konsep Dasar Medik
A.
Pengertian
Dispepsia
merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit
di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan refluks
gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi
asam lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia (Mansjoer A edisi III, 2000 hal
: 488). Batasa dispepsia terbagi atas dua yaitu:
a. Dispepsia organik, bila telah diketahui
adanya kelainan organik sebagai penyebabnya
b. Dispepsia non organik, atau dispepsia
fungsional, atau dispepsia non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.
B.
Anatomi dan Fisiologi Lambung
a.
Anatomi
Lambung terletak oblik dari
kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat dibawah diafragma. Dalam keadaan
kosong lambung berbentuk tabung J, dan bila penuh berbentuk seperti buah
alpukat raksasa. Kapasitas normal lambung 1 sampai 2 liter. Secara anatomis
lambung terbagi atas fundus, korpus dan antrum pilorus. Sebelah atas lambung
terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat
kurvatura mayor. Sfingter kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan
pemasukan. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan
yang masuk kedalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus
kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama
daerah kardia. Disaat sfingter pilorikum berelaksasi makanan masuk kedalam
duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran
balik isis usus halus kedalam lambung.
Lambung terdiri dari empat lapisan yaitu :
1.
lapisan peritoneal luar yang merupakan lapisan serosa.
2.
Lapisan berotot yang terdiri
atas 3 lapisan :
a.)
Serabut longitudinal, yang
tidak dalam dan bersambung dengan otot esophagus.
b.)
Serabut sirkuler yang palig
tebal dan terletak di pylorus serta membentuk otot sfingter, yang berada
dibawah lapisan pertama.
c.)
Serabut oblik yang terutama
dijumpai pada fundus lambunh dan berjalan dari orivisium kardiak, kemudian
membelok kebawah melalui kurva tura minor (lengkung kelenjar).
3.
Lapisan submukosa yang terdiri
atas jaringan areolar berisi pembuluh darah dan saluran limfe.
4.
Lapisan mukosa yang terletak
disebelah dalam, tebal, dan terdiri atas banyak kerutan/ rugae, yang menghilang
bila organ itu mengembang karena berisi makanan. Ada beberapa tipe kelenjar
pada lapisan ini dan dikategorikan menurut bagian anatomi lambung yang
ditempatinya. Kelenjar kardia berada dekat orifisium kardia. Kelenjar ini
mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastric terletak di fundus dan pada
hampir selurus korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tipe-tipe utama sel.
Sel-sel zimognik atau chief cells mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah
menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel-sel parietal mensekresikan asam
hidroklorida dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi
vitamin B 12 di dalam usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan
mengakibatkan anemia pernisiosa. Sel-sel mukus (leher) ditemukan dileher fundus
atau kelenjar-kelenjar gastrik. Sel-sel ini mensekresikan mukus. Hormon gastrin
diproduksi oleh sel G yang terletak pada pylorus lambung. Gastrin merangsang
kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi
lain yang disekresikan oleh lambung adalah enzim dan berbagai elektrolit,
terutama ion-ion natrium, kalium, dan klorida.
Persarafan lambung
sepenuhnya otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum
dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus
mempercabangkan ramus gastrik, pilorik, hepatik dan seliaka. Pengetahuan
tentang anatomi ini sangat penting, karena vagotomi selektif merupakan tindakan
pembedahan primer yang penting dalam mengobati tukak duodenum.
Persarafan simpatis
adalah melalui saraf splenikus major dan ganlia seliakum. Serabut-serabut
aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, dan
dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut aferen simpatis menghambat
gerakan dan sekresi lambung. Pleksus saraf mesentrikus (auerbach) dan submukosa
(meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengkordinasi
aktivitas motoring dan sekresi mukosa lambung.
Seluruh suplai darah
di lambung dan pankreas (serat hati, empedu, dan limpa) terutama berasal dari
daerah arteri seliaka atau trunkus seliaka, yang mempecabangkan cabang-cabang
yang mensuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang penting dalam
klinis adalah arteri gastroduodenalis dan arteri pankreas tikoduodenalis
(retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum. Tukak
dinding postrior duodenum dapat mengerosi arteria ini dan menyebabkan perdarahan.
Darah vena dari lambung dan duodenum, serta berasal dari pankreas, limpa, dan
bagian lain saluran cerna, berjalan kehati melalui vena porta.
b.
Fisiologi
Fisiologi Lambung :
1.
Mencerna makanan secara
mekanikal.
2.
Sekresi, yaitu kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi 1500
– 3000 mL gastric juice (cairan lambung) per hari. Komponene utamanya yaitu
mukus, HCL (hydrochloric acid), pensinogen, dan air. Hormon gastrik yang
disekresi langsung masuk kedalam aliran darah.
3.
Mencerna makanan secara kimiawi
yaitu dimana pertama kali protein dirobah menjadi polipeptida
4.
Absorpsi, secara minimal
terjadi dalam lambung yaitu absorpsi air, alkohol, glukosa, dan beberapa obat.
5.
Pencegahan, banyak
mikroorganisme dapat dihancurkan dalam
lambung oleh HCL.
6.
Mengontrol aliran chyme
(makanan yang sudah dicerna dalam lambung) kedalam duodenum. Pada saat
chyme siap masuk kedalam duodenum, akan
terjadi peristaltik yang lambat yang berjalan dari fundus ke pylorus.
C.
Etiologi
a. Perubahan pola makan
b. Pengaruh obat-obatan yang dimakan secara
berlebihan dan dalam waktu yang lama
c. Alkohol dan nikotin rokok
d. Stres
e. Tumor atau kanker saluran pencernaan
D.
Insiden
Berdasarkan
penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15 – 30 % orang dewasa pernah
mengalami hal ini dalam beberapa hari. Di inggris dan skandinavia dilaporkan
angka prevalensinya berkisar 7 – 41 % tetapi hanya 10 – 20 % yang mencari
pertolongan medis. Insiden dispepsia pertahun diperkirakan antara 1 – 8 %
(Suryono S, et all, 2001 hal 154). Dan dispepsia cukup banyak dijumpai. Menurut
Sigi, di negara barat prevalensi yang dilaporkan antara 23 dan 41 %. Sekitar 4
% penderita berkunjung ke dokter umumnya mempunyai keluhan dispepsia. Didaerah
asia pasifik, dispepsia juga merupakan keluhan yang banyak dijumpai,
prevalensinya sekitar 10 – 20 % (Kusmobroto H, 2003)
E.
Manifestasi Klinik
a.
nyeri
perut (abdominal discomfort)
b. Rasa perih di ulu hati
c. Mual, kadang-kadang sampai muntah
d. Nafsu makan berkurang
e. Rasa lekas kenyang
f.
Perut
kembung
g. Rasa panas di dada dan perut
h. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung
secara tiba-tiba)
F.
Patofisiologi
Perubahan pola
makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti nikotin
dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan menjadi
kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan
erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi
demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang
terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata
membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.
G.
Pencegahan
Pola makan
yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan
jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak mengkomsumsi makanan yang berkadar
asam tinggi, cabai, alkohol, dan pantang rokok, bila harus makan obat karena
sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak
mengganggu fungsi lambung.
H.
Penatalaksanaan Medik
a. Penatalaksanaan non farmakologis
1) Menghindari makanan yang dapat
meningkatkan asam lambung
2) Menghindari faktor resiko seperti alkohol,
makanan yang peda, obat-obatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres
3) Atur pola makan
b. Penatalaksanaan farmakologis yaitu:
Sampai saat ini belum ada
regimen pengobatan yang memuaskan terutama dalam mengantisipasi kekambuhan. Hal
ini dapat dimengerti karena pross patofisiologinya pun masih belum jelas.
Dilaporkan bahwa sampai 70 % kasus DF reponsif terhadap placebo.
Obat-obatan yang diberikan
meliputi antacid (menetralkan asam lambung) golongan antikolinergik (menghambat
pengeluaran asam lambung) dan prokinetik (mencegah terjadinya muntah)
I.
Test Diagnostik
Berbagai
macam penyakit dapat menimbulkan keluhan yang sama, seperti halnya pada sindrom
dispepsia, oleh karena dispepsia hanya merupakan kumpulan gejala dan penyakit
disaluran pencernaan, maka perlu dipastikan penyakitnya. Untuk memastikan
penyakitnya, maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan, selain pengamatan
jasmani, juga perlu diperiksa : laboratorium, radiologis, endoskopi, USG, dan
lain-lain.
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu
dilakukan lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan penyebab organik lainnya
seperti: pankreatitis kronik, diabets mellitus, dan lainnya. Pada dispepsia
fungsional biasanya hasil laboratorium dalam batas normal.
b. Radiologis
Pemeriksaan radiologis banyak
menunjang dignosis suatu penyakit di saluran makan. Setidak-tidaknya perlu
dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran makan bagian atas, dan
sebaiknya menggunakan kontras ganda.
c. Endoskopi (Esofago-Gastro-Duodenoskopi)
Sesuai dengan definisi bahwa
pada dispepsia fungsional, gambaran endoskopinya normal atau sangat tidak
spesifik.
d. USG (ultrasonografi)
Merupakan diagnostik yang
tidak invasif, akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu
menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan
efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi klien yang beratpun
dapat dimanfaatkan
e. Waktu Pengosongan Lambung
Dapat dilakukan dengan
scintigafi atau dengan pellet radioopak. Pada dispepsia fungsional terdapat
pengosongan lambung pada 30 – 40 % kasus.
ASUHAN
KEPERAWATAN TEORI
- Pengkajian
Pengkajian
merupakan tahap awal dari proses dimana kegiatan yang dilakukan yaitu :
Mengumpulkan data, mengelompokkan data dan menganalisa data. Data fokus yang
berhubungan dengan dispepsia meliputi adanya nyeri perut, rasa pedih di ulu
hati, mual kadang-kadang muntah, nafsu makan berkurang, rasa lekas kenyang,
perut kembung, rasa panas di dada dan perut, regurgitasi (keluar cairan dari
lambung secar tiba-tiba). (Mansjoer A, 2000, Hal. 488). Dispepsia merupakan
kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom) yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit diperut bagian atas yang dapat pula disertai dengan keluhan lain,
perasaan panas di dada daerah jantung (heartburn), regurgitasi, kembung, perut
terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah, dan beberapa
keluhan lainnya (Warpadji Sarwono, et all, 1996, hal. 26)
- Diagnosa Keperawatan
Menurut Inayah (2004) bahwa
diagnosa keperawatan yang lazim timbul pada klien dengan dispepsia.
a.
Nyeri
epigastrium berhubungan dengan iritasi pada mukosa lambung.
b.
Nutrisi
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan rasa tidak enak setelah makan,
anoreksia.
c.
Perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan adanya mual, muntah
d.
Kecemasan
berhubungan dengan perubahan status kesehatannya
- Rencana Keperawatan
Rencana
keperawatan adalah tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk
menngulangi masalah keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan.
a.
Nyeri
epigastrium berhubungan dengan iritasi pada mukosa lambung.
Tujuan : Terjadinya penurunan atau hilangnya rasa nyeri, dengan kriteria klien
melaporkan terjadinya penurunan atau hilangnya ras nyeri
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1. Kaji tingkat nyeri, beratnya (skala 0 – 10)
2. Berikan istirahat dengan posisi
semifowler
3. Anjurkan klien untuk menghindari makanan
yang dapat meningkatkan kerja asam lambung
4. Anjurkan klien untuk tetap mengatur
waktu makannya
5. Observasi TTV tiap 24 jam
6. Diskusikan dan ajarkan teknik relaksasi
7. Kolaborasi dengan pemberian obat
analgesik
|
1. Berguna dalam pengawasan kefektifan
obat, kemajuan penyembuhan
2. Dengan posisi semi-fowler dapat
menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi telentang
3. dapat menghilangkan nyeri akut/hebat dan
menurunkan aktivitas peristaltik
4. mencegah terjadinya perih pada ulu
hati/epigastrium
5. sebagai indikator untuk melanjutkan
intervensi berikutnya
6. Mengurangi rasa nyeri atau dapat
terkontrol
7. Menghilangkan rasa nyeri dan mempermudah
kerjasama dengan intervensi terapi lain
|
b.
Nutrisi
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan rasa tidak enak setelah makan,
anoreksia.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai
rentang yang diharapkan individu, dengan kriteria menyatakan pemahaman
kebutuhan nutrisi
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1. Pantau dan dokumentasikan dan haluaran
tiap jam secara adekuat
2. Timbang BB klien
3. Berikan makanan sedikit tapi sering
4.
Catat status nutrisi paasien:
turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan
menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.
5.
Kaji pola diet klien yang
disukai/tidak disukai.
6.
Monitor intake dan output
secara periodik.
Catat adanya
anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi.
Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
|
1. Untuk mengidentifikasi
indikasi/perkembangan dari hasil yang diharapkan
2. Membantu menentukan keseimbangan cairan
yang tepat
3. meminimalkan anoreksia, dan mengurangi
iritasi gaster
4. Berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang
tepat Berguna dalam pengawasan kefektifan
obat, kemajuan penyembuhan
5. Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake
diet klien.
6. Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan
7. Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah
untuk meningkatkan intake nutrisi.
|
c.
Perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan adanya mual, muntah
Tujuan : Menyatakan pemahaman faktor penyebab dan
prilaku yang perlu untuk memperbaiki defisit cairan, dengan kriteria
mempertahankan/menunjukkan perubaan keseimbangan cairan, dibuktikan stabil,
membran mukosa lembab, turgor kulit baik.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1. Awasi tekanan darah dan nadi, pengisian
kapiler, status membran mukosa, turgor kulit
2. Awasi jumlah dan tipe masukan cairan,
ukur haluaran urine dengan akurat
3. Diskusikan strategi untuk menghentikan
muntah dan penggunaan laksatif/diuretik
4. Identifikasi rencana untuk
meningkatkan/mempertahankan keseimbangan cairan optimal misalnya : jadwal
masukan cairan
5. Berikan/awasi hiperalimentasi IV
|
1. Indikator keadekuatan volume sirkulasi
perifer dan hidrasi seluler
2. Klien tidak mengkomsumsi cairan sama
sekali mengakibatkan dehidrasi atau mengganti cairan untuk masukan kalori
yang berdampak pada keseimbangan elektrolit
3. Membantu klien menerima perasaan bahwa
akibat muntah dan atau penggunaan laksatif/diuretik mencegah kehilangan
cairan lanjut
4. Melibatkan klien dalam rencana untuk
memperbaiki keseimbangan untuk berhasil
5. Tindakan daruat untuk memperbaiki
ketidak seimbangan cairan elektroli
|
d.
Kecemasan
berhubungan dengan perubahan status kesehatannya
Tujuan : Mendemonstrasikan koping yang positif dan
mengungkapkan penurunan kecemasan, dengan kriteria menyatakan pemahaman tentang
penyakitnya.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1. Kaji tingkat kecemasan
2. Berikan dorongan dan berikan waktu untuk
mengungkapkan pikiran dan dengarkan semua keluhannya
3. Jelaskan semua prosedur dan pengobatan
4. Berikan dorongan spiritual
|
1. Mengetahui sejauh mana tingkat kecemasan
yang dirasakan oleh klien sehingga memudahkan dlam tindakan selanjutnya
2. Klien merasa ada yang memperhatikan
sehingga klien merasa aman dalam segala hal tundakan yang diberikan
3. Klien memahami dan mengerti tentang
prosedur sehingga mau bekejasama dalam perawatannya.
4. Bahwa segala tindakan yang diberikan
untuk proses penyembuhan penyakitnya, masih ada yang berkuasa menyembuhkannya
yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
|
DAFTAR PUSTAKA
Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, (Edisi 8), EGC,
Jakarta
Carpenito, 1999, Rencana
Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, (Edisi 2), EGC, Jakarta
Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta
Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, (Edisi III), EGC, Jakarta.
FKUI, 1979, Patologi,
FKUI, Jakarta
Ganong, 1997, Fisiologi
Kedokteran, EGC, Jakarta
Gibson, John, 2003, Anatomi
dan Fisiologi Modern untuk Perawat, EGC, Jakarta
Guyton dan Hall, 1997, Fisiologi
Kedokteran, (Edisi 9), EGC, Jakarta
Hinchliff, 1999, Kamus
Keperawatan, EGC, Jakarta
Price, S. A dan Wilson, L. M, 1995, Patofisiologi,
EGC, Jakarta
Sherwood, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem,
(edisi 21), EGC, Jakarta
Sobotta, 2003, Atlas
Anatomi, (Edisi 21), EGC, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar